Jumat, 5 April 2019
Ciuman Maut
Matius 26 :47-56
48 Orang yang menyerahkan Dia telah memberitahukan tanda ini kepada mereka: “Orang yang akan kucium, itulah Dia, tangkaplah Dia.” 49 Dan segera ia maju mendapatkan Yesus dan berkata: “Salam Rabi,” lalu mencium Dia. (Mat 26:48,49)
Yudas selalu menyebut Yesus sebagai Rabi ketika murid yang lain menyebut Yesus sebagai Tuhan. Sebutan Yudas kepada Yesus sebagai Rabi mewakili pandangan Yudas terhadap Yesus. Yudas memandang Yesus sebagai seorang manusia biasa. Yudas hanya melihat Yesus sebagai guru moral biasa sebagaimana orang Farisi dan ahli Taurat lainnya.
Ketika seseorang memandang Yesus sebagai manusia biasa maka dia akan memperlakukan Yesus hanya sebagai pengajar moralitas. Ketika seseorang memandang Yesus hanya sebagai guru moral biasa, maka dia akan memperlakukan pengajaranNya sebagai sesuatu yang perlu dipertimbangkan untuk diikuti tanpa keharusan untuk menjalani yang diajarkanNya. Maka tidak menaati Yesus bukanlah hal yang terlampau dipersoalkan. Mengkhianati Yesus bukanlah hal besar. Apa yang dinilainya lebih memberikan keuntungan atau kenyamanan bagi dirinya, itulah yang diikutinya.
Tetapi ketika seseorang memandang Yesus sebagai Allah Sang Pencipta dan Penguasa kehidupan manusia, maka dia akan merasa perlu dan harus menyerahkan hidupnya kepada Sang Penguasa Kehidupan. Ketika seseorang memandang Yesus sebagai Jalan dan Kebenaran dan Hidup maka dia akan belajar terus setia menjalani kehidupan sesuai dengan jalan kehidupan yang diajarkanNya.
Yudas menyerahkan Yesus kepada para pembenciNya dengan ciuman. Ciuman adalah tanda kesetiaan dan persahabatan. Ciuman merupakan tindakan baik dan sopan yang menunjukkan bahwa seseorang setia dan bersahabat dengan orang yang diciumnya. Tetapi Yudas menggunakan ciumannya kepada Yesus sebagai tanda untuk menyerahkan Yesus kepada orang-orang yang membenciNya. Ciuman yang dilakukan Yudas merupakan tanda pengkhianatan. Yudas memberikan ciuman kematian kepada Yesus untuk memperoleh apa yang dicintainya : uang dan dirinya sendiri.
Tindakan Yudas menunjukkan bahwa dia tidak mengenal Yesus Kristus yang setiap hari bersamanya selama tiga tahun lebih. Berbagai perbuatan ajaib yang dilakukan Yesus tidak membuka mata hati dan pikirannya terhadap keilahian Yesus. Walaupun berada di dalam lingkungan orang-orang yang terdekat dengan Yesus Kristus, mata dan hatinya tidak tertuju kepada Yesus, tetapi hanya terpusat kepada uang atau pada ego pribadi (memikirkan diri dan kenyamanannya sendiri).
Jika seseorang berada di dalam lingkungan orang percaya tetapi hanya tertuju kepada “berkat materi (uang, perhatian, kedudukan, dsb) dari Tuhan” maka mata dan hatinya tidak akan bisa melihat Yesus sebagai Gembala Agung yang menuntun hidupnya. Jika seseorang berada di gereja supaya mendapatkan “berkat materi berlimpah dari Tuhan” maka dia tidak akan bisa menempatkan Yesus Kristus sebagai Tuhan yang menguasai hidupnya.
Bagi orang yang menjadi Kristen karena keturunan mudah mengatakan bahwa Yesus itu Tuhan. Tetapi antara keyakinan teoritis (mengaku beriman tapi minim dalam perbuatan) dan keyakinan fungsional (berbuat banyak tapi minim imannya) bisa jadi dua hal yang saling bertentangan. Perbuatan yang dilakukan seseorang pada akhirnya akan menunjukkan apa yang diyakininya. Jika orang mengatakan bahwa dirinya adalah orang percaya tetapi menolak untuk hidup selaras dengan kebenaranNya – walau setiap Minggu berada di dalam gereja dan aktif dalam pelayanan – pada dasarnya dia tidak mempercayai Yesus Kristus sebagai Tuhan.
Bagi diri kita, siapakah Yesus itu – seorang guru moral yang ajaranNya perlu dipertimbangkan sebagai salah satu alternatif cara hidup atau Tuhan yang seharusnya kita biarkan menguasai dan memandu hidup kita? Yesus yang manakah yang hadir dalam hidup saya saat ini?
[Ditulis berdasarkan “Tafsiran Injil Matius” oleh Mathew Henry]